Oh baby I’ll take you to the sky..
Forever you and I..
You and I…
And we’ll be together till we die..
Our love will last forever and forever you’ll be mine…
You’ll be mine…
Alunan suara merdu Petra
Sihombing membangunkan Renata dari tidurnya yang nyenyak. Dengan gusar
diraihnya handphone yang tergeletak disamping bantal di sisi kirinya. Ada 3
panggilan tak terjawab. Salah satunya yang tadi berhasil membuatnya terbangun.
Dari nomor yang sama. MARIO. Dia lagi!
Renata mengalihkan pandangan pada
layar tivi yang masih menyala masih menayangkan berita seputar pemilihan
supermodel dunia yang sedari tadi siang dilihatnya. Mata sipitnya masih
mengerjap-ngerjap sambil sesekali gadis itu menguap pertanda sebenarnya dia
masih ingin melanjutkan tidur. Sambil meraba-raba diraihnya botol air mineral
yang terletak di meja samping ranjang. Sambil bangkit duduk diminumnya beberapa
teguk air. Lumayan menyejukkan tenggorokannya yang kering. Setelah cukup lama
duduk mematung, Renata ingat kalau dirinya belum sholat ashar. Sudah pukul
17.30 waktu Bali. Masih ada waktu untuk mandi sebelum ashar.
Sambil melepas mukena yang
dikenakannya, Renata mengernyitkan dahinya. Perutnya terasa sedikit perih.
Tergesa diambilnya botol kecil Mylanta dari ransel mungilnya. Buru-buru diteguknya
cairan itu beberapa kali. Renata baru ingat seharian ini baru sepiring
spaghetti yg sudah masuk ke lambungnya. Pantas saja maagnya kambuh. Kalau mami
tahu, mami pasti marah mendapati anak semata wayangnya menahan lapar hanya
karena kelelahan. Mengingatnya, Renata mengulas senyum kecil.
I missed you mami.. bisiknya dalam hati.
Masih dalam kondisi setengah
berbaring dan menahan sakit maag yang belum juga mau menghilang, tiba-tiba
terdengar bunyi ringtone handphone nya lagi. Kali ini dengan wajah manis berkerudung
biru yang tengah tersenyum memamerkan behel giginya menyebul. Seketika sakit di
lambungnya sembuh.
“Haloooo Danish jeleeeekkk!!!”
Teriak Renata girang.
“Aduuhhh…” teriak Danish dari
seberang telepon. Handphone yang dipegangnya sontak dijauhkan sejenak. Renata
kelewatan!
“hahahaha….” Renata masih
tergelak kegirangan.
“Reneeee…!!! Jangan
teriak-teriak. Gw ga budeg tau!” bentak Danish sewot.
“hahahhahahaaa…..” yang dibentak
malah tertawa makin keras.
“Iiiihh…Renataaa…diem! Udah
dong..gw mau ngomong serius niih..”
“hehehe, okeeh, Im so sorry beb.
So, whats going on?” jawab Renata sambil ter kekeh.
“Gw mau minta jemput dong…”
“Lah..jemput dimana neng?”
“Ya di Surabaya laaah… masak di
Hongkong..”
“Gw di Bali kelles…”
“Wooottt??? Ngapain lu di Bali?”
“Ada kerjaan..”
“Renataaaa….lu tega bangeettt… gw
aja yang tinggal nyebrang dong ke gilimanuk ga sempet-sempet. Elu kenapa ke
Bali duluan?? Apa?? katanya temen, sahabat?? Puih…”
Danish masih terus ngomel-ngomel
panjang kali lebar kali tinggi sementara Renata hanya tertawa tanpa suara
mendengarkan dengan sabar omelan sahabatnya itu. Danish sudah setahun terakhir
menjalani tugas intership di rumah sakit pemerintah di kabupaten Situbondo.
Udah deket pake banget kan sama Bali? Hehehe..
Danish masih saja terus mengomel.
Dan Renata maklum. Anak manja yang satu itu ternyata masih belum berubah.
“Lu sampe kapan di Bali?” Tanya
Danish.
“gw ada pemotretan 3-4 hari
disini. Ya gw balik ke Surabaya hari minggu malem ato ngga senin pagi..
kenapa?”
“yah…trus gw gimana dong?”
“lu ngapain ke Surabaya? Laporan
ke kampus?”
“hu uumm.. plis dong Ren..jemput
gw…gw naik bus nih…”
“trus kalo naik bus kenapa?”
“takut laaah…gw kan ga pernah
naik bus..”
“whattt?? Lu setahun di Situbondo
ga pernah naik bus gitu kalo balik ke Surabaya? Trus naik apa?”
“naik travel…”
OMG Danish……kirain mau ngomong
serius apaan. Ternyata sang putri manja minta jemput di terminal karena takut
baru pertama kali naik bus.
“Emang lu kapan ke Surabaya nya?”
“besok pagi..jam 6 dari sini..”
“udah deh..lu naik taksi ajaa..
minta turunin pool taksi deket terminal ada kok..”
“ga bahaya?”
“nggaaakkk!!”
“yauda deh.. great thanks yaa…
Renata yang cantik… semoga kerjaan di Bali cepet kelar. Trus bisa ketemuan deh
kitaa di Surabaya..”
“aamiin…”
“assalamualaikuumm…”
“hu uums, waalaikumsalam..”
Renata menghela napas panjang
sambil mengulas senyum. Danish..Danish… masih sama saja seperti 10 tahun yang
lalu. Iya, Danish dan Renata bersahabat sejak masih di SMA. Danish yang manja,
aleman, semua-semua minta dilayani, serba tergantung bertemu dengan Renata yang
keras kepala, keras, tangguh namun pemarah. Cocok. Klop. Danish bertemu Renata
sejak pertama kali penerimaan siswa baru di sekolah mereka. Sebuah sekolah
negeri di tengah kota Surabaya.
Saat itu Danish yang sedang dihukum
karena terlambat tiba di sekolah saat masa orientasi siswa baru. Sedangkan
Renata di hukum karena melawan apa kata seniornya. Mereka kemudian saling
berkenalan. Sebagai sesama anak tunggal, meraka langsung akrab. Yah, meski
dengan perbedaan sifat yang bertolak belakang. Namun perbedaan sifat mereka
justru membuat persahabatan mereka awet.
Renata mengutak atik layar
handphone nya. Dibukanya satu demi satu foto kebersamaan mereka selama ini.
Liburan ke Yogyakarta, ke Karimunjawa, ke Aceh ke tempat nenek Danish. Sampe
terakhir kali mereka berlibur bersama ke Banjarmasin. Tiga tahun yang lalu,
sebulan sebelum Danish terbang ke Rotterdam untuk mengikuti program beasiswa ke
Erasmus University. Selama Danish di Belanda pun, komunikasi mereka jalan
terus. Terutama karena Danish sangat tahu betapa Renata iri karena sebenarnya
Renata lah yang sangat ingin menginjakkan kaki di Eropa. Renata yang sudah
terobsesi pada bangunan-bangunan tua di Eropa sejak masih SMA itu begitu
gembira menerima kiriman file hasil jepretan Danish setiap minggu nya. Meski
tetap saja, Renata iri setengah mati.
Renata kembali menutup handphone
nya untuk kemudian menyambar tas ransel putihnya. Memeriksa baterei kamera
mirrorless yang selalu dibawanya di ransel putih itu. Renata bangkit dari ranjang. Mengganti kaos oblongnya dengan polo
shirt warna orange. Kemudian menyisir rambut panjangnya. Menguncirnya tinggi di
belakang kepala dan menyisakan poni sampingnya yang sudah cukup panjang. Tak
lupa menyapukan bedak tabur tipis pada wajah bulatnya, dan seulas lipgloss pada
bibirnya yang sebenarnya sudah merah. Dipandanginya sosok dirinya di cermin.
Dengan polo shirt orange, celana bahan warna khaki selutut membalut badan
tampak semakin membuat cantik kulitnya yang putih. Diraihnya scarf motif bunga
dan dikalungkannya di lehernya yang jenjang. Dengan memakai sepatu kets, Renata
beranjak meninggalkan kamar hotelnya. Tujuan pertamanya jelas. Makan malam.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jalanan Kuta Square di depan
pancake café yang disambanginya luamayan ramai meski hari ini weekdays. Seperti
biasa, banyak bule berkeliaran dengan santainya. Rasa-rasanya lebih banyak bule
yang berada disitu daripada penduduk local. Suasana yang dibangun di sepanjang
jalan itu juga bukan lagi suasana Bali. Maklum saja, di sepanjang kawasan
Legian, bertebaran berbagai macam bar dan café yang menyuguhkan suasana malam
layaknya di Hollywood. Bali? Rasa2nya sudah tinggal sebatas kain kotak hitam
putih yang menempel sekedar aksesoris di sudut-sudut pilar.
Renata menyesap lagi cangkir
besar hot chocolate miliknya. Masih belum ingin beranjak dari café pancake yang
sudah setengah jam terakhir ditempatinya. Masih juga asyik menikmati pemandangan
jalanan Kuta Square menjelang malam. Ada sepasang bule berambut pirang saling
menggenggam tangan, serombongan anak muda bercanda ria, namun ada juga seorang
bule bermata sipit yang nampak kebingungan dengan seorang guide lokal yang
menemaninya.
Renata kembali menyesap beberapa
kali isi mug krem yang ada di genggamannya. Hangat dan mengenyangkan. Kemudian,
diraihnya ponsel yang ada dihadapannya. Gerakan jarinya terhenti pada sesosok
wajah di gallery. Lelaki berwajah putih dengan kacamata minus 1 sedang
memamerkan senyum dengan deretan gigi yang rata. Disisi kanan bagian belakang,
seorang gadis dengan kacamata hitam rambut sebahu dan berantakan memonyongkan
bibirnya. Pose khas selfie ala abege labil. Foto itu diambil di café ini juga.
Setahun yang lalu. Foto Renata sendiri. Dengan orang yang sampai hari ini masih
punya tempat istimewa di hatinya. Perlahan gadis itu menghela nafas panjang.
Antara sesak dan rindu.
Di sudut lain café tersebut,
Nampak sesosok lelaki yang mengamati Renata dari pertama gadis itu memasuki
cafe. Menunggu dan mengamatinya dari jauh, menungguinya dengan sabar. Bahkan
sampai saat gadis itu beranjak meninggalkan café pancake.
Comments
Post a Comment