BAB 2







Oh baby I’ll take you to the sky..
Forever you and I..
You and I…
And we’ll be together till we die..
Our love will last forever and forever you’ll be mine…
You’ll be mine…

Alunan suara merdu Petra Sihombing membangunkan Renata dari tidurnya yang nyenyak. Dengan gusar diraihnya handphone yang tergeletak disamping bantal di sisi kirinya. Ada 3 panggilan tak terjawab. Salah satunya yang tadi berhasil membuatnya terbangun. Dari nomor yang sama. MARIO. Dia lagi!
Renata mengalihkan pandangan pada layar tivi yang masih menyala masih menayangkan berita seputar pemilihan supermodel dunia yang sedari tadi siang dilihatnya. Mata sipitnya masih mengerjap-ngerjap sambil sesekali gadis itu menguap pertanda sebenarnya dia masih ingin melanjutkan tidur. Sambil meraba-raba diraihnya botol air mineral yang terletak di meja samping ranjang. Sambil bangkit duduk diminumnya beberapa teguk air. Lumayan menyejukkan tenggorokannya yang kering. Setelah cukup lama duduk mematung, Renata ingat kalau dirinya belum sholat ashar. Sudah pukul 17.30 waktu Bali. Masih ada waktu untuk mandi sebelum ashar.  
Sambil melepas mukena yang dikenakannya, Renata mengernyitkan dahinya. Perutnya terasa sedikit perih. Tergesa diambilnya botol kecil Mylanta dari ransel mungilnya. Buru-buru diteguknya cairan itu beberapa kali. Renata baru ingat seharian ini baru sepiring spaghetti yg sudah masuk ke lambungnya. Pantas saja maagnya kambuh. Kalau mami tahu, mami pasti marah mendapati anak semata wayangnya menahan lapar hanya karena kelelahan. Mengingatnya, Renata mengulas senyum kecil.
I missed you mami.. bisiknya dalam hati.
Masih dalam kondisi setengah berbaring dan menahan sakit maag yang belum juga mau menghilang, tiba-tiba terdengar bunyi ringtone handphone nya lagi. Kali ini dengan wajah manis berkerudung biru yang tengah tersenyum memamerkan behel giginya menyebul. Seketika sakit di lambungnya sembuh.
“Haloooo Danish jeleeeekkk!!!” Teriak Renata girang.
“Aduuhhh…” teriak Danish dari seberang telepon. Handphone yang dipegangnya sontak dijauhkan sejenak. Renata kelewatan!
“hahahaha….” Renata masih tergelak kegirangan.
“Reneeee…!!! Jangan teriak-teriak. Gw ga budeg tau!” bentak Danish sewot.
“hahahhahahaaa…..” yang dibentak malah tertawa makin keras.
“Iiiihh…Renataaa…diem! Udah dong..gw mau ngomong serius niih..”
“hehehe, okeeh, Im so sorry beb. So, whats going on?” jawab Renata sambil ter kekeh.
“Gw mau minta jemput dong…”
“Lah..jemput dimana neng?”
“Ya di Surabaya laaah… masak di Hongkong..”
“Gw di Bali kelles…”
“Wooottt??? Ngapain lu di Bali?”
“Ada kerjaan..”
“Renataaaa….lu tega bangeettt… gw aja yang tinggal nyebrang dong ke gilimanuk ga sempet-sempet. Elu kenapa ke Bali duluan?? Apa?? katanya temen, sahabat?? Puih…”
Danish masih terus ngomel-ngomel panjang kali lebar kali tinggi sementara Renata hanya tertawa tanpa suara mendengarkan dengan sabar omelan sahabatnya itu. Danish sudah setahun terakhir menjalani tugas intership di rumah sakit pemerintah di kabupaten Situbondo. Udah deket pake banget kan sama Bali? Hehehe..
Danish masih saja terus mengomel. Dan Renata maklum. Anak manja yang satu itu ternyata masih belum berubah.
“Lu sampe kapan di Bali?” Tanya Danish.
“gw ada pemotretan 3-4 hari disini. Ya gw balik ke Surabaya hari minggu malem ato ngga senin pagi.. kenapa?”
“yah…trus gw gimana dong?”
“lu ngapain ke Surabaya? Laporan ke kampus?”
“hu uumm.. plis dong Ren..jemput gw…gw naik bus nih…”
“trus kalo naik bus kenapa?”
“takut laaah…gw kan ga pernah naik bus..”
“whattt?? Lu setahun di Situbondo ga pernah naik bus gitu kalo balik ke Surabaya? Trus naik apa?”
“naik travel…”
OMG Danish……kirain mau ngomong serius apaan. Ternyata sang putri manja minta jemput di terminal karena takut baru pertama kali naik bus.
“Emang lu kapan ke Surabaya nya?”
“besok pagi..jam 6 dari sini..”
“udah deh..lu naik taksi ajaa.. minta turunin pool taksi deket terminal ada kok..”
“ga bahaya?”
“nggaaakkk!!”
“yauda deh.. great thanks yaa… Renata yang cantik… semoga kerjaan di Bali cepet kelar. Trus bisa ketemuan deh kitaa di Surabaya..”
“aamiin…”
“assalamualaikuumm…”
“hu uums, waalaikumsalam..”
Renata menghela napas panjang sambil mengulas senyum. Danish..Danish… masih sama saja seperti 10 tahun yang lalu. Iya, Danish dan Renata bersahabat sejak masih di SMA. Danish yang manja, aleman, semua-semua minta dilayani, serba tergantung bertemu dengan Renata yang keras kepala, keras, tangguh namun pemarah. Cocok. Klop. Danish bertemu Renata sejak pertama kali penerimaan siswa baru di sekolah mereka. Sebuah sekolah negeri di tengah kota Surabaya.
Saat itu Danish yang sedang dihukum karena terlambat tiba di sekolah saat masa orientasi siswa baru. Sedangkan Renata di hukum karena melawan apa kata seniornya. Mereka kemudian saling berkenalan. Sebagai sesama anak tunggal, meraka langsung akrab. Yah, meski dengan perbedaan sifat yang bertolak belakang. Namun perbedaan sifat mereka justru membuat persahabatan mereka awet.
Renata mengutak atik layar handphone nya. Dibukanya satu demi satu foto kebersamaan mereka selama ini. Liburan ke Yogyakarta, ke Karimunjawa, ke Aceh ke tempat nenek Danish. Sampe terakhir kali mereka berlibur bersama ke Banjarmasin. Tiga tahun yang lalu, sebulan sebelum Danish terbang ke Rotterdam untuk mengikuti program beasiswa ke Erasmus University. Selama Danish di Belanda pun, komunikasi mereka jalan terus. Terutama karena Danish sangat tahu betapa Renata iri karena sebenarnya Renata lah yang sangat ingin menginjakkan kaki di Eropa. Renata yang sudah terobsesi pada bangunan-bangunan tua di Eropa sejak masih SMA itu begitu gembira menerima kiriman file hasil jepretan Danish setiap minggu nya. Meski tetap saja, Renata iri setengah mati.
Renata kembali menutup handphone nya untuk kemudian menyambar tas ransel putihnya. Memeriksa baterei kamera mirrorless yang selalu dibawanya di ransel putih itu. Renata bangkit dari  ranjang. Mengganti kaos oblongnya dengan polo shirt warna orange. Kemudian menyisir rambut panjangnya. Menguncirnya tinggi di belakang kepala dan menyisakan poni sampingnya yang sudah cukup panjang. Tak lupa menyapukan bedak tabur tipis pada wajah bulatnya, dan seulas lipgloss pada bibirnya yang sebenarnya sudah merah. Dipandanginya sosok dirinya di cermin. Dengan polo shirt orange, celana bahan warna khaki selutut membalut badan tampak semakin membuat cantik kulitnya yang putih. Diraihnya scarf motif bunga dan dikalungkannya di lehernya yang jenjang. Dengan memakai sepatu kets, Renata beranjak meninggalkan kamar hotelnya. Tujuan pertamanya jelas. Makan malam.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jalanan Kuta Square di depan pancake café yang disambanginya luamayan ramai meski hari ini weekdays. Seperti biasa, banyak bule berkeliaran dengan santainya. Rasa-rasanya lebih banyak bule yang berada disitu daripada penduduk local. Suasana yang dibangun di sepanjang jalan itu juga bukan lagi suasana Bali. Maklum saja, di sepanjang kawasan Legian, bertebaran berbagai macam bar dan café yang menyuguhkan suasana malam layaknya di Hollywood. Bali? Rasa2nya sudah tinggal sebatas kain kotak hitam putih yang menempel sekedar aksesoris di sudut-sudut pilar.
Renata menyesap lagi cangkir besar hot chocolate miliknya. Masih belum ingin beranjak dari café pancake yang sudah setengah jam terakhir ditempatinya. Masih juga asyik menikmati pemandangan jalanan Kuta Square menjelang malam. Ada sepasang bule berambut pirang saling menggenggam tangan, serombongan anak muda bercanda ria, namun ada juga seorang bule bermata sipit yang nampak kebingungan dengan seorang guide lokal yang menemaninya.
Renata kembali menyesap beberapa kali isi mug krem yang ada di genggamannya. Hangat dan mengenyangkan. Kemudian, diraihnya ponsel yang ada dihadapannya. Gerakan jarinya terhenti pada sesosok wajah di gallery. Lelaki berwajah putih dengan kacamata minus 1 sedang memamerkan senyum dengan deretan gigi yang rata. Disisi kanan bagian belakang, seorang gadis dengan kacamata hitam rambut sebahu dan berantakan memonyongkan bibirnya. Pose khas selfie ala abege labil. Foto itu diambil di café ini juga. Setahun yang lalu. Foto Renata sendiri. Dengan orang yang sampai hari ini masih punya tempat istimewa di hatinya. Perlahan gadis itu menghela nafas panjang. Antara sesak dan rindu.
Di sudut lain café tersebut, Nampak sesosok lelaki yang mengamati Renata dari pertama gadis itu memasuki cafe. Menunggu dan mengamatinya dari jauh, menungguinya dengan sabar. Bahkan sampai saat gadis itu beranjak meninggalkan café pancake.

Comments